ISRA’ MI’RAJ
Dalam Perspektif Islam dan Sains
Serta Hukum Memperingatinya
1. Pengertian Isra’ Mi’raj
Isra` secara bahasa berasal dari kata ‘saro’ bermakna perjalanan di malam hari. Adapun secara istilah, Isra` adalah perjalanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Jibril dari Mekkah ke Baitul Maqdis (Palestina), berdasarkan firman Allah :
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأَقْصَى
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha “ (Al Isra’:1)
Mi’raj secara bahasa adalah suatu alat yang dipakai untuk naik. Adapun secara istilah, Mi’raj bermakna tangga khusus yang digunakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk naik dari bumi menuju ke atas langit, berdasarkan firman Allah dalam surat An Najm ayat 1-18.[1]
2. Isra’ Mi’raj dalam perspektif Islam dan Sains
A. Isra’ Mi’raj dalam perspektif Islam
Ada beberapa surat dalam Al-Qur’an yang menerangkan tentang Isra’ Mi’raj.
Diantaranya ialah Surat Al-Isra’ ayat ke-1, yang bunyinya adalah sebagai berikut:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا
إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Artinya:
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya
agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
1. (سبحان) Subhaana
Subhana bisa juga berasal dari kata ‘sabaha‘ artinya berenang.
Mashdar lainnya adalah Tasbih, yang berarti gerak yang dinamis. Hakekat dari seluruh materi di alam semesta ini adalah bergerak, ber-rotasi dan ber-revolusi.
Salah tiga dari materi alam semesta adalah Matahari, Bumi dan Rembulan. Rembulan atau Bulan ber-rotasi dan ber-revolusi kepada Bumi.
Bumi ber-rotasi dan ber-revolusi kepada Matahari. Matahari ber-rotasi dan ber-revolusi kepada pusat Bimasakti. dst
Jadi peristiwa Isra’ wal Mi’raj adalah fenomena pergerakan dan sangat dinamis, bukan sekedar aktifitas statis.
2. (أسرى) Asra
Asra berarti memperjalankan.
Kata ini bentuk transitif (muta’addiy) dari kata (سرى) saraa = berjalan.
Di sini jelas bahwa Allah Yang Maha Dinamis yang menentukan gerak dan diamnya, atau berjalan dan berhentinya hamba-Nya yakni Rasulullah SAW.
Jadi peristiwa Isr’a wal Mi’raj merupakan kehendak aktif Allah SWT.
Secara manusiawi…maka jarak tempuh Isra’ adalah : Mekkah – Palestina, sekitar 1.200 km
.
Selanjutnya, perjalanan Mi’raj seperti dijelaskan dalam surat An-Najm yang terbagi dalam dua tahap:
Tahap 1: Gelombang ke Partikel
[53:1] Demi bintang ketika terbenam.
[53:2] kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru.
[53:3] dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quraan) menurut kemauan hawa nafsunya.
[53:4] Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
[53:5] yang diajarkan kepadanya oleh (jibril) yang sangat kuat.
[53:6] yang mempunyai akal yang cerdas; dan (jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli.
[53:7] sedang dia berada di ufuk yang tinggi.
[53:8] Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi.
[53:9] maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi).
[53:10] Lalu dia menyampaikan kepada hambaNya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan.
[53:11] Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya
Ayat 1-11 surat An-Najm di atas, menjelaskan perihal transfer dimensi dari Jibril kepada Rasulullah SAW yakni transfer dimensi cahaya kepada dimensi suara.
Tahap 2: Partikel ke Gelombang
[53:12] Maka apakah kaum (musyrik Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya?
[53:13] Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain,
[53:14] (yaitu) di Sidratil Muntaha
[53:15] Di dekatnya ada syurga tempat tinggal,
[53:16] (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.
[53:17] Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.
Ayat ke 12 – 17 surat An-Najm di atas, Allah SWT menjabarkan praktikum Rasulullah SAW untuk melakukan transfer balik dari dimensi suara atau partikel menuju ke dimensi cahaya atau ‘gelombang elektromagnetik’.
Dan perjalanan (israa) saat itu tidak mengenal lagi hukum fisika.Dimensi waktu telah terlampaui.
Jangkauan Rasulullah SAW mampu mencakup semua dimensi di bawah layer malaikat. Padahal Malaikat menempati layer/dimensi diatas Jin, Jin di atas Syaithan/Iblis. Dan manusia berada di paling bawah.
Mari kita simulasikan Mi’raj Rasulullah SAW secara astronomis/sains, maka pertama-tama kita akan melihatnya secara masnusiawi dimana
Rasulullah SAW akan lepas dari Bumi. Dan lebar Bumi sekitar 12.700 km.
Lalu, kita manusia akan membayangkan, Rasulullah SAW lepas dari Tata Surya kita yang lebarnya 9 milyar km.
Berikutnya lepas Tata Surya masih harus lepas dari Galaksi kita (Bimasakti/Milkyway) yang panjangnya 925.000.000.000.000.000 km:
3. (عبده) ‘Abdihi
‘Abdihi berarti hamba-Nya. Hamba adalah lemah, hamba adalah tidak berdaya.
Di sini jelas, bahwa isra’ wal Mi’raj itu bukan kemauan Rasulullah SAW, karena beliau sebagai hamba yang hanya bergantung atas kehendak Allah SWT dalam melakukan perjalannya.
Jadi dalam Isr’a wal Mi’raj, Rasulullah SAW tidak berjalan sendiri, tetapi di’bantu’ Allah dalam melakukan perjalanan itu.
4. (ليلا) Lailan = Malam hari.
Malam adalah simbol kebalikan dari siang. Dua istilah yang sangat erat dengan konsep waktu. Mengapa harus malam.?
Malam memiliki keheningan, malam menyibakkan kegelapan, yang merupakan arah dari pandangan mata yang tidak pernah akan berujung. Dan perjalanan Isra’ wal Mi’raj adalah perjalanan Rasulullah SAW yang tidak mampu dijejaki ujung finalnya. Alam semesta nan luas.
5. (من المسجد الحرام الى المسجد الأقصى) Masjidil Haram-Masjidil Aqsha
Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha adalah dua starting point yang diberkahi. Dua lokasi yang dipilih Allah SWT dengan titik koordinat yang terpisah antara batas utara pergerakan tahunan Matahari. Dua lokasi sebagai kiblat pertama dan terakhir. Dan inilah tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran-Nya. Kalau kita mau berfikir.
6. (سدرةالمنتهى), Sidratul Muntaha
Berasal dari kata sidrah dan muntaha. Sidrah adalah pohon Bidara. Sedangkan muntaha berarti tempat berkesudahan, sebagaimana kata ini dipakai dalam ayat berikut: Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu), QS An-Najm [53]:41-42.
Dengan demikian, secara bahasa Sidratul Muntaha berarti Pohon Bidara tempat berkesudahan. Disebut demikian karena tempat ini tidak bisa dilewati lebih jauh lagi oleh manusia dan merupakan tempat diputuskannya segala urusan yang naik dari dunia di bawahnya maupun segala perkara yang turun dari atasnya.
Istilah ini disebutkan sekali dalam Al-Qur’an, yaitu pada ayat: Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. QS. An-Najm [53]:13:14.
Sidratul Muntaha digambarkan sebagai pohon Bidara yang sangat besar, dedaunannya sebesar telinga gajah dan buah-buahannya seperti bejana batu, sebagaimana diutarakan dalam hadits: Dari Anas bin Malik, dari Malik bin Sha’sha’ah, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Diapun menyebutkan hadits Mi’raj, dan di dalamnya: “Kemudian aku dinaikkan ke Sidratul Muntaha”. Lalu Nabiyullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengisahkan: “Bahwasanya daunnya seperti telinga gajah dan bahwa buahnya seperti bejana batu”. Hadits telah dikeluarkan dalam ash-Shahihain dari hadits Ibnu Abi Arubah. HR al-Baihaqi (1304). Asal hadits ini ada pada riwayat al-Bukhari (3207) dan Muslim (164).
Jika Allah memutuskan sesuatu, maka “bersemilah” Sidratul Muntaha sehingga diliputi oleh sesuatu, yang menurut penafsiran Ibnu Mas’ud r.a. adalah “permadani emas”. Deskripsi tentang Sidratul Muntaha dalam hadits-hadits tentang Isra Mi’raj tersebut hanyalah berupa gambaran (metafora) sebatas yang dapat diungkapkan kata-kata. Hakikatnya hanya Allah yang Maha Tahu.
B. Isra’ Mi’raj dalam perspektif Sains
Ada beberapa kesepakatan ilmiah di kalangan saintis, khususnya fisikawan bahwa ada hal-hal ganjil yang akan terjadi bila benda berada pada kecepatan tinggi. Konsep ini disebut Relativitas (khususn dan umum) oleh sang penemunya yakni Einstein.
Relativitas, adalah teori yang saat ini menjadi pusat ilmu pengetahuan.
Teori ini terdiri atas Relativitas Khusus dan Umum. Dua teori ini pun memiliki sejarah yang berbeda. Relativitas Khusus diterima dalam beberapa tahun setelah Albert Einstein mengumumkannya. Dan ini terjadi di tengah derasnya peristiwa-peristiwa ilmiah, dan karena ini menjawab pertanyaan yang membingungkan banyak ilmuwan.
Teori ini juga memiliki kegunaan dalam bidang-bidang utama riset yang dilakukan saat itu, seperti fisika nuklir dan mekanika kwantum. Saat ini, relativitas khusus menjadi alat sehari-hari bagi para ahli fisika yang meneliti susunan materi dan gaya yang menyatukannya.
Relativitas Umum berlaku dalam skala yang jauh lebih besar, pada bintang-bintang, galaksi, dan ruang angkasa yang luas. Dibutuhkan waktu lebih lama untuk diterima, karena teori ini tampaknya tidak memiliki kegunaan prakltis. Einstein menggunakannya untuk menjelaskan kesederhanaan dan tatanan di balik alam semesta. Teori ini baru dapat diuji tahun 1960-an setelah akselerator partikel raksasa dan perlatan lain ditemukan menjadi lebih kuat.
Relativitas khusus meramalkan bahwa ketika sebuah objek mendekati kecepatan cahaya, maka akan terjadi hal-hal ganjil sebagai berikut:
1. Waktu melambat
Ini disebut dilatasi waktu. Ini diamati tahun 1941 dalam ekperimen partikel atom berkecepatan tinggi yang disebut muon.
Ini juga ditunjukkan tahun 1971, ketika jam yang amat sangat akurat, diterbangkan dengan cepat keliling dunia di atas pesawat terbang jet. Setelah dua hari,jam itu berkurang sepersekian detik dibandingkan dengan jam yang sama di permukaan bumi, karena jam itu bergerak lebih cepat.
2. Objek mengecil.
Objek yang bergerak mendekati kecepatan cahaya, akan mengalami pemendekan sesuai arah geraknya. Kalau roket antariksa bisa bergerak dengan separoh kecepatan cahaya, panjangnya akan sekitar enam per tujuh panjang aslinya di landasan luncur. Efek ini sudah diteliti sejak tahun 1890-an.
3. Massa objek bertambah.
Ini artinya objek akan bertambah berat. Ini sudah diperlihatkan berulang kali dengan eksperimen partikel yang bergerak dengan kecepatan tinggi seperti elektron.
Dari ide inilah Eistein mengembangkan rumus terkenalnya E = mc².
Mungkinkah manusia bisa bergerak secepat cahaya?
Seiring bertambahnya massa orang tersebut, maka gaya yang dibutuhkan untuk membuatnya bergerak lebih cepat lagi juga terus bertambah.
Pada hampir kecepatan cahaya, massa akan begitu besar sampai gaya yang dibutuhkan untuk memberikan dorongan ekstra itu akan sangat besar sampai mustahil. Akibatnya kecepatan cahaya tidak akan benar-benar tercapai.
Pesawat isra’ mi’raj
Dalam semalam, Rasulullah SAW melakukan perjalanan darat 1200 km, lalu ke luar angkasa dan kembali lagi.
Alat Transportasi apa gerangan yang dikendarai beliau?
Pertama, yang ingin saya uraikan disini adalah istilah Buroq. Buroq dipercaya oleh sebgian kita, sebagai tunggangan (alat transportasi utama) Rosulullah SAW saat melakukan perjalanan Isra’ wal Mi’raj.
Selama ini istilah Buroq diartikan sebagai sejenis hewan katakanlah kuda yang berkaki empat dan berkepala manusia. Berikut antara lain penjabaran istilah Buroq, dalam Mushonnif Ibnu Abi Syaibah, juz: 8, hal: 446:
(8) حدثنا علي بن مسهر عن أبي إسحاق الشيباني عن عبد الله بن شداد قال : لما أسري بالنبي (ص) أتى بدابة فوق الحمار ودون البغل ، يضع حافره عند منتهى طرفه ، يقال له (براق) فمر رسول الله (ص) بعير للمشركين فنفرت فقالوا : يا هؤلاء ما هذا ؟ قالوا : ما نرى شيئا ، ما هذه إلا ريح ، حتى أتى بيت المقدس فأتي بإنائين في واحد خمر وفي الآخر لبن ، فأخذ النبي (ص) اللبن فقال له جبريل : هديت وهديت أمتك – ثم صار إلى مصر.
Dari riwayat di atas, maka istilah Buroq adalah semisal peranakan keledai dan kuda, yakni baghal. Baik kuda maupun keledai memiliki kaki empat, hanya dalam pengejawantahan para ulama (pedesaan) selama ini, kepala Buroq adalah bewujud kepala manusia yang sangat tampan,
wa Allahu a’lamu.
Buroq Secara Sains
Nah, mari kita maknai Buroq dengan lebih mendasar. Sebuah makna yang memiliki dasar, baik aqli (nalar) lebih2 naqli (syar’i)nya. Lalu dengan adanya pemahaman Buroq yang lebih pas, kita akan mencoba melihat kebenaran Isra’ wal Mi’raj ini.
Buroq berasal dari kata ” براق “, dan kata ini berangkat dari kata dasar “براق” yang berarti kilat atau petir, yakni percikan cahaya. Jadi “براق” adalah cahaya, atau dengan kata lain sarana Transportasi Rosulullah SAW saat Isra’ wal Mi’raj adalah Pesawat dengan Kecepatan Cahaya.
Berangkat dari beberapa efek relativitas di atas, bahwa satu hal yang pasti adalah semua efek yang timbul akibat adanya teori Relativitas simbah Einstein belum final secara frontal. Dilatasi waktu misalnya memang sudah dibuktikan lewat perangkat jam digital super sensitif, namun dampak masih sangat bertambah entah semakin melambat atau malah justru akan mengalami titik balik dan lalu bukan melambat tetapi bertambah cepat, semuanya hanya Sang Pencipta semua hukum alam ini-ALLAH SWT, yang Maha Tahu. Begitu pun 3 efek lainnya.
Cahaya sendiri sebagai sebuah paket energi dalam teori kuantum, ternyata merupakan bagian dari gelombang elektromagnetik. Gelombang elektromagnetik sangat mungkin memiliki beragam kecepatan, terlebih bila melalui medium berbeda. Jadi bisa jadi ketika malam Isra’ wal Mi’raj, medium alam ini mengalami penurunan indeks bias, sehingga laju sang Buroq menjadi sangat cepat.
Cahaya, seperti yang kita pahami memiliki kecepatan 300.000.00 m/s. Dengan kecepatan ini saja, sang Buroq sudah mampu berkeliling Bumi sebanyak 8 kali dalam satu detik. Maka jarak Mekkah-Palestina saat Rosulullah SAW berisra’ yang hanya kl 1.250 km, sangat mungkin terjadi.
Selanjutnya, berapa lebar atau panjang alam semesta ini, berapa jauh Rosulullah SAW melintasi tujuh lapis langit..?
Pertayaan ini sukar untuk dijawab, sebab Alam Semesta sedang mengembang. Jadi tergantung sisi pandang mana pertanyaan tentang lebar alam semesta ini ditanyakan…
Setidaknya ada 4 skala jarak-perbedaan yang masyhur di kalangan kosmologi:
(1) Luminosity Distance – DL
Sekitar 350 miliar tahun cahaya.
(2) Angular Diameter Distance – DA
Sekitar 14 miliar tahun cahaya.
(3) Comoving Distance – DC
Sekitar 47 miliar tahun cahaya.
(4) Light Travel Time Distance – DT
Sekitar 14 miliar tahun cahaya.
Kiranya, medium memang menentukan cepat-rambat laju cahaya, maka perjalanan isra’ wal Mi’raj Rosulullah SAW adalah peristiwa yang sangat niscaya.
Mari kita tinjau Mi’raj. Nabi SAW bermi’raj dari al-Aqsha ke Sidratil Muntaha, tempat yang jauh. Dimanakah tempat yang jauh itu? Pluto, karena antara Bumi dan Pluto terbentang tujuh planit dengan Bumi ikut dihitung (yang ditafsirkan tujuh langit).
Dimanakah tempat terjauh itu?
Kalo kita bicara pada jagat raya kita, berdasarkan spektra yang bisa dilihat dan diterjemahkan oleh indera kita, tempat itu ada di quasar CFHQS 1641 + 3755 yang jauhnya 12,7 milyar tahun cahaya.
Mari anggap Sidratil Muntaha waktu itu ada di jagat raya kita, dan bertempat pada jarak sejauh itu. Nah bagaimana caranya ke sana?
Dengan kendaraan secepat cahaya pun manusia baru akan sampai ke sana setelah 12,7 milyar tahun. Padahal Nabi SAW menempuhnya hanya dalam semalam (maksimum 12 jam).
Jika merujuk Relativitas Umum, sebenarnya ada mekanisme yang memungkinkan untuk memintas ruang-waktu seperti itu.
Ada yang disebut lubang cacing (wormhole) yang memungkinkan sebuah obyek memintas ruang-waktu dan sampai di bagian lain dari jagat raya ini dengan “cepat”.
Dan lubang cacing ini selalu berujung pada singularitas lokal, seperti lubang hitam ataupun lubang putih.
Meski dalam lubang hitam ini gravitasinya memang demikian kuat hingga foton pun takkan bisa melepaskan diri darinya, namun kita tahu bahwa asas ketidakpastian Heisenberg dan entropi lubang hitam mengatur bahwa ada foton yang bisa keluar dari kungkungan gravitasi ini, yang dikenal sebagai radiasi Hawking.
Nah, ketika bermi’raj Nabi SAW melewati terowongan ruang-waktu yang berujud lubang cacing ini untuk menuju ke Sidratil Muntaha pergi pulang.
Namun apakah memang benar-benar demikian?
Wallahua’lam bi ashawwaab.
3. Hukum merayakan Isra’ Mi’raj
Ada 2 pendapat yang menerangkan tentang hukum merayakan Isra’ Mi’raj :
a. Hukum haram
Kelompok salafy menganggap bahwa merayakan isra’ mi’raj hukumnya haram.
Inilah beberapa hal yang mendasari pendapat mereka :
1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri tidak pernah merayakannya atau memerintahkan kepada umatnya untuk merayakannya.
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهْوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang bukan termasuk urusan (syari’at) kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim)
2. Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali, dan seluruh shahabat radhiyallahu ‘anhum tidak pernah pula merayakannya. Demikian pula para tabi’in, seperti Sa’id bin Al-Musayyib, Hasan Al-Bashri, dan yang lainnyarahimahumullah.
3. Para ulama yang datang setelah mereka, baik itu imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad), Al-Bukhari, Muslim, An-Nawawi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Katsir, Ibnul Qayyim, Ibnu Hajar Al-’Asqalani, dan yang lainnya rahimahumullah, hingga para ulama zaman sekarang ini. Mereka semua tidak pernah merayakannya, apalagi menganjurkan dan mengajak kaum muslimin untuk mengadakan peringatan itu. Tidak didapati satu kalimat pun dalam kitab-kitab mereka yang menunjukkan disyari’atkannya peringatan Isra’ Mi’raj.
4. Kenyataan yang terjadi jika perayaan ini benar-benar diadakan, yaitu munculnya berbagai kemungkaran, di antaranya:
a. Terjadinya ikhtilath, yaitu bercampurbaurnya antara laki-laki dan perempuan.
b. Dilantunkannya shalawat-shalawat yang bid’ah dan bahkan sebagiannya mengandung kesyirikan.
c. Didendangkannya lagu-lagu dan alat musik yang jelas haram hukumnya.
d. Mengganggu kaum muslimin. Di antara bentuk gangguan itu adalah:
§ Terhalanginya pemakai jalan atau minimalnya mereka kesulitan ketika hendak melewati jalan di sekitar lokasi acara, karena banyaknya orang di sana.
§ Suara musik dan lagu yang sangat keras pada acara terebut, juga mengganggu tetangga dan masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi acara. Orang yang telah lanjut usia, orang sakit, maupun bayi-bayi dan anak-anak kecil yang semestinya membutuhkan ketenangan, mereka terganggu dengan adanya suara musik yang sangat keras tadi.
Tidak semestinya beberapa gangguan tadi dianggap sepele dan ringan. Kecil maupun besar, setiap perbuatan yang bisa mengganggu dan menyakiti kaum muslimin, maka pelakunya terkenai ancaman:
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (Al-Ahzab: 58)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ
“Tidak akan masuk al-jannah orang yang tetangganya merasa tidak aman dari gangguannya.” (HR. Muslim)
e.Tidak sedikit kaum muslimin yang melalaikan shalat berjama’ah di masjid, bahkan yang lebih parah kalau sampai meninggalkan shalat fardhu.
Ketika acara dimulai ba’da shalat Isya’ misalnya, sejak sore banyak yang sudah stand by di tempat acara. Mulai dari penjual-penjual dengan aneka barang dagangannya, pengunjung acara, sampai panitia acara pun, mereka lebih memilih berada di ‘pos-pos’ mereka daripada masjid ketika dikumandangkannya adzan maghrib dan isya’. Wal ‘iyadzubillah.
Semestinya umat ini dibimbing untuk kembali kepada agamanya. Mereka sangat antusias menyambut dan menghadiri acara peringatan Isra’ Mi’raj, namun mereka belum memahami hikmah dan pelajaran yang terkandung di dalamnya. Sebuah peristiwa dan mu’jizat besar yang saat itulah kewajiban shalat lima waktu ini diberlakukan kepada umat Islam. Suatu musibah jika salah satu rukun Islam ini dilalaikan hanya karena ingin ‘menyukseskan’ acara yang sudah pasti menelan biaya yang tidak sedikit tersebut.
Kalau masih ada yang beranggapan bahwa perayaan untuk memperingati Isra’ Mi’raj itu adalah baik, maka katakanlah sebagaimana kata Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah:
مَن ابْتَدَعَ في الإِسلام بدعة يَراها حَسَنة ؛ فَقَدْ زَعَمَ أَن مُحمّدا – صلى الله عليه وعلى آله وسلم- خانَ الرّسالةَ ؛ لأَن اللهَ يقولُ : { الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ فما لَم يَكُنْ يَوْمَئذ دينا فَلا يكُونُ اليَوْمَ دينا}
“Barangsiapa yang mengadaka-adakan kebid’ahan dalam agama Islam ini, dan dia memandang itu baik, maka sungguh dia telah menyatakan bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah berkhianat dalam menyampaikan risalah, karena Allah telah berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
(Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian), maka segala sesuatu yang pada hari (ketika ayat ini diturunkan) itu bukan bagian dari agama, maka pada hari ini pun juga bukan bagian dari agama.”
Sumber :
Media Salafy
b. Hukum Boleh
Beberapa kelompok, seperti NU, NW, dkk memperbolehkan dengan alasan sebagai berikut :
Apapun yang ada di sekeliling kita, jelas tidak ada di zaman Nabi. Yang menjadi prinsip kita adalah esensi. Esensi dari suatu kegiatan itulah yang harus kita utamakan.
Nabi Muhammad SAW bersabda : ‘Barang siapa yang melahirkan aktifitas yang baik, maka baginya adalah pahala dan [juga mendapatkan] pahala orang yang turut melakukannya’ (Muslim dll). Makna ‘aktifitas yang baik’ –secara sederhananya–adalah aktifitas yang menjadikan kita bertambah iman kepada Allah SWT dan Nabi-Nabi-Nya, termasuk Nabi Muhammad SAW, dan lain-lainnya. dan banyak lagi hadits-hadits yang dijadikan sebagai rujukan bahwa memperingati Isro` mi`roj itu hukumnya dibolehkan.
Baiklah ikhwah fillah yang dimuliakan Alloh SWT, demikian itulah beberepa pendapat Ulama Islam tentang hukum memperingati Isro` Mi`roj, tentunya bagi masyarakat umum sangatlah bingung untuk menentukan sikap terhadap dua pendapat Ulama tersebut, maka bagaimanakah seharusnya kita sebagai masyarakat muslim menyikapi dua pendapat tersebut?
Sebaiknya kita sebagai muslim memperhatikan sisi kebaikan dari peringatan Isra` mi`raj tersebut karena Alloh tidak pernah melarang hambanya untuk selalu berbuat kebaikan terhadap agamanya, dengan melihat sisi positif perayaan/peringatan isra` mi`raj saya rasa tidak ada salahnya kita merayakannya karena :
1. Sebagai media pemersatu Ummat Islam
2. Mengingatkan kembali kepada masyarakat tentang kejadian besar yang telah dialami Nabi Muhammad SAW
3. Syiar kebangkitan islam
4. dan lain sebagainya
dan sebenarnya yang salah adalah bukan terletak pada bid`ahnya, akan tetapi yang salah adalah mencampur adukkan kebaikan dengan berbagai penyimpangan syariah,dan inilah sebagai tugas kita untuk meluruskan pandangan masyarakat.
Wallohu a`lam Bisshowab
4. KESIMPULAN
1. Peristiwa Isra’ Mi’raj merupakan tanda kekuasaan Allah SWT.
2. Menurut pandangan agama, peristiwa Isra’ Mi’raj adalah hal yang benar-benar terjadi dan patut untuk di imani oleh semua umat Islam.
3. Dalam pandangan sains, Isra’ Mi’raj belum diketahui secara pasti kebenarannya, karena keterbatasan otak manusia.
4. Hukum merayakan Isra’ Mi’raj ada 2, yaitu haram dan boleh, tergantung keyakinan masing-masing individu.
5. DAFTAR PUSTAKA
http://muslim.or.id/aqidah/kisah-isra-miraj.html
http://mjalaluddinjabbar.blogspot.com/2012/06/menyikapi-diantara-dua-hukum.html
http://www.kinantan.com/2012/06/sejarah-dan-pengertian-hikmah-isra.html#.ULwxDmcp12k
http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,38469-lang,id-c,kolom-t,Isra++Mi+raj+dalam+Perspektif+Sains+dan+Agama-.phpx