beranda

Sabtu, 08 Desember 2012


Isra Miraj dan teori relativitas


Sejarah Islam mencatat peristiwa unik dan sulit dicerna akal, Isra dan Miraj. Secara istilah, Isra berjalan di waktu malam hari, sedangkan Miraj adalah alat (tangga) untuk naik. Isra mempunyai pengertian perjalanan Nabi Muhammad saw pada waktu malam hari dari Masjid Al Haram Mekkah ke Masjid Al Aqsha Palestina. Miraj adalah kelanjutan perjalanan Nabi Muhammad saw dari Masjid Al Aqsha ke langit sampai di Sidratul Muntaha dan langit tertinggi tenpat Nabi Muhammad saw bertemu dengan Allah swt. Isra’ Miraj adalah kisah perjalanan Nabi Muhammad ke langit ke tujuh dalam waktu semalam. Prosesi sejarah perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad termaktub dalam QS. 17.Al-Isra’ :1 yang berbunyi
“Maha suci Allah yang menjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Majidil Aqsha yang Kami berkahi sekelilingnya agar Kami memperlihatkan kepadanya sebahagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. (QS. 17.Al-Isra’ :1)
Dan tentang mi’raj Allah menjelaskan dalam QS. An-Najm:13-18:
“Dan sesungguhnya dia (Nabi Muhammad SAW) telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, di Sidratul Muntaha. Di dekat (Sidratul Muntaha) ada syurga tempat tinggal. (Dia melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh suatu selubung. Penglihatannya tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (QS. An-Najm:13-18)
Rasulullah SAW melihat secara langsung.
Allah ingin memperlihatkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya kepada Rasulullah SAW. Pada Al Qur’an surat An Najm ayat 13 diatas, terdapat kata “Yaro” dalam bahasa Arab yang artinya “menyaksikan langsung”. Berbeda dengan kata “Syahida”, yang berarti menyaksikan tapi tidak musti secara langsung. Allah memperlihatkan sebagian tanda-tanda kebesaran-Nya itu secara langsung.
Mengenai pemahaman tentang Isra’ Mi’raj banyak kaum muslim yang masih memiliki perbedaan pandangan secara mendasar, yang terbagi dalam:
  • Pemahaman dgn beranggapan peristiwa isra’ Mi’raj hanyalah sekedar perjalanan ruh, spiritual atau metaphor journey Nabi Muhammad SAW tidak dengan jasad fisik. Pemahaman ini berpegang kepada surah Al Quran :
QS. 17 Al-Isra’ : 60 “…Tidak lain mimpi yang Kami perlihatkan kepadamu adalah sebagai ujian bagi manusia…”
  • Sebaliknya ada yang berpendapat, bahwa isra’ dari Mekah ke Bait’l-Maqdis itu dengan jasad atau physical journey. Sedang mi’raj ke langit adalah dengan ruh atau metaphor journey.
  • Pemahaman lain menyatakan bahwa Isra’ Mi’raj adalah perjalanan dengan jasad (fisik) dan dapat dijelaskan dalam ilmu yang dipahami manusia karena merupakan peristiwa nyata.
Pemahaman secara fisik (physical journey).
ISRA`MI`RAJ, sebagai sebuah peristiwa metafisika (gaib), barangkali bukan sesuatu yang istimewa. Kebenarannya bukanlah sesuatu yang luarbiasa. Kebenaran metafisika adalah kebenaran naqliyah (: dogmatis) yang tidak harus dibuktikan secara akal, namun lebih bersifat imani. Valid tidaknya kebenaran peristiwa metafisika—secara akal, bukanlah soal selagi ia diimani.
Didalam pemahan secara fisika banyak orang mempertanyakan ke-shahih-an Isra` Mi`raj;  “ apakah mungkin manusia melakukan perjalanan sejauh itu hanya dalam waktu kurang dari semalam?” . Kaum kafirpun telah menantang Rasulullah seperti  diberitakan dalam Al Quran dalam surat  Al-Israa: 93.
“Atau kamu mempunyai sebuah rumah dari emas, atau kamu naik ke langit. Dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas kami sebuah kitab yang kami baca”. Katakanlah: “Maha Suci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul?”
Dan  didalam Hadith
“Ketika orang-orang Quraisy tak mempercayai saya (kata Nabi SAW), saya berdiri di Hijr (menjawab berbagai pertanyaan mereka). Lalu Allah menampakkan kepada saya Baitul Maqdis, saya dapatkan apa yang saya inginkan dan saya jelaskan kepada mereka tanda-tandanya, saya memperhatikannya….” (HR. Bukhari, Muslim, dan lainnya).
dan banyak Hadith hadith lainnya.
Hubungan  antara peristiwa perjalanan Isra’ Mi’raj dengan  teori relativitas.
Diantara keduanya terdapat faktor persamaan dan perbedaan didalam proses kejadian,
persamaan kedua kisah antara lain:
•    Keduanya  membahas  perihal  perjalanan atau journey dari Bumi ke luar angkasa lalu kembali ke Bumi.
•    Keduanya  membahas  penggunaan  faktor “Speed” atau “kecepatan”  tinggi  didalam  pemberitaannya
•    Konsep mengenai perpisahan antara  dua manusia (atau lebih) digunakan sebagai bahan pokok  atau object pembahasan didalam kedua cerita.
Dalam Isra Miraj, Rasulullah meninggalkan kaumnya di bumi untuk bepergian ke ke Majidil Aqsha  lalu ke Langit ketujuh, dalam kasus teori relativitas menceritakan tentang dua saudara kembar A dan B, dimana saudara kembar B bepergian keluar angkasa.
Sampai disini dari hal hal tersebut diatas, kita  sudah dapat mengambil kesimpulan secara gamblang,  bahwa peristiwa Isra Miraj adalah benar. Bagaimana mungkin seorang  manusia  yang ummi  14 Abad yang silam dapat membuat sebuah cerita atau teori yang dapat dibuktikan didalam abad ke 20 dengan sedemikian detailnya. Dengan kata lain tidak mungkin Rasulullah  SAW mencontoh teori Albert Einstein yang lahir sesudahnya (?).
Teori Relativitas.
Theori Relativitas membahas mengenai Struktur Ruang dan Waktu serta mengenai hal hal yang berhubungan dengan Gravitasi. Theori relativtas terdiri dari dua teori fisika, relativitas umum dan relativitas khusus. Theori relativitas khusus menggambarkan perilaku ruang dan waktu dari perspektif pengamat yang bergerak relatif terhadap satu sama lain, dan fenomena terkait. Sala artikel ini hanya dibahas theori relativitas khusus dan Efek yg  disebut dilatasi waktu (dari bahasa Latin: dilatare “tersebar”, “delay”).
Einstein merumuskan teorinya dalam sebuah persamaan mathematik:
t’ = waktu benda yang bergerak
t = waktu benda yang diam
v = kecepatan benda
c = kecepatan cahaya
Diterangkan bahwa perbandingan nilai kecepatan suatu benda dengan kecepatan cahaya, akan berpengaruh pada keadaan benda tersebut. Semakin dekat nilai kecepatan suatu benda (v) dengan kecepatan cahaya (c), semakin besar pula efek yang dialaminya (t`): perlambatan waktu. Hingga ketika kecepatan benda menyamai kecepatan cahaya (v=c), benda itu pun sampai pada satu keadaan nol. Demikian, namun jika kecepatan benda dapat melampaui kecepatan cahaya (v>c), keadaan pun berubah. Efek yang dialami bukan lagi perlambatan waktu, namun sebaliknya waktu menjadi mundur (-t’).
Kisah perjalanan Si Kembar atau  dilatasi waktu.
Twin Paradox adalah suatu theori hasil pemikiran (Gedankenexperiment atau thought experiment) oleh Albert Einstein berbasis theori relativitas khusus yang sampai saat ini masih menjadi perdebatan para pakar fisika. Theori tersebut secara keseluruhan menggambarkan kisah perjalanan dua saudara kembar yang berpisah. Salah seorang dari saudara kembar (A) tersebut tinggal di Bumi dan saudara kembar lainnya (si traveler(B)) terbang keluar angkasa kesebuah planet di tata surya yang jauh dengan kecepatan cahaya dan kembali kebumi dengan kecepatan yang sama. Setelah mereka bertemu kembali dibumi mereka menemukan fakta bahwa umur si kembar yang mengadakan perjalanan (si traveler) lebih muda daripada umur saudaranya (A) yang tetap tinggal dibumi, disebabkan si traveler mengalami phenomenon time dilation atau fenomena dilatasi waktu  dalam perjalanannya.
Time dilation (dilatasi waktu) adalah fenomena, dimana seorang Observer disatu titik melihat, bahwa jam dari orang yang bergerak dengan cepat menjadi lebih lambat (atau cepat), sebenarnya hal tersebut tergantung dari frame of reference dimana dia berada. Time dilation dapat di ketahui hanya apabila kecepatan mengarah kepada kecepatan cahaya dan sudah dibuktin secara akurat dengan unstable subatomic particle dan precise timing of atomic clocks.
Pembuktian teori relativitas.
Studi tentang sinar kosmis merupakan satu pembuktian teori ini. Didapati bahwa di antara partikel-partikel yang dihasilkan dari persingungan partikel-partikel sinar kosmis yang utama dengan inti-inti atom Nitrogen dan Oksigen di lapisan Atmosfer atas, jauh ribuan meter di atas permukaan bumi, yaitu partikel Mu Meson (Muon), itu dapat mencapai permukaan bumi. Padahal partikel Muon ini mempunyai paruh waktu (half-life) sebesar dua mikro detik yang artinya dalam dua perjuta detik, setengah dari massa Muon tersebut akan meleleh menjadi elektron. Dan dalam jangka waktu dua perjuta detik, satu partikel yang bergerak dengan kecepatan cahaya (± 300.000 km/dt) sekalipun paling-paling hanya dapat mencapai jarak 600 m. padahal jarak ketinggian Atmosfer di mana Muon terbentuk, dari permukaan bumi, adalah 20.000 m yang mana dengan kecepatan cahaya hanya dapat dicapai dalam jangka minimal 66 mikro-detik. Lalu, bagaimana Muon dapat melewati kemustahilan itu? Ternyata, selama bergerak dengan kecepatannya yang tinggi—mendekati kecepatan cahaya, partikel Muon mengalami efek sebagaimana diterangkan teori Relativitas, yaitu perlambatan waktu.
Pembuktian selanjutnya terjadi pada tahun 1971,  perbedaan waktu (time dilation) di twin paradox theori tersebut telah dibuktikan melalui “Hafele-Keating-Experiment” dengan menggunakan 2 buah jam yang berketepatan tinggi (High precision Cesium Atom clocks) yang di set awal pada waktu yang sama.
Experiment tersebut menghasilkan perbedaan waktu pada kedua jam tersebut, antara jam yang diletakkan di pesawat Intercontinental yang bergerak terbang kearah timur / barat dengan jam referensi yang diletakkan di U.S. Naval Observatory di Washington, waktu jam di pesawat berkurang/bertambah tergantung dari arah penerbangan.
Twin paradox experiment
Relativ terhadap jam di Naval Observatory, jam dipesawat berkurang waktu 59+/-10 nanoseconds dalam penerbangan ketimur, dan mengalami pertambahan waktu 273+/-7 nanosecond pada penerbangan ke barat. Hasil empiris tersebut membuktikan theori twin paradox dalam tingkatan jam macroskopik.
Dengan adanya pembuktian pembukatian tersebut, berarti  Albert Einstein dengan teori relativitasnya secara langsung atau tidak langsung telah membuktikan bahwa kisah Al Quran tentang kisah  “perjalanan  Rasulullah SAW kelangit ketujuh dan kembali dalam satu malam” adalah benar.   Terutama dalam segi dimensi WAKTU,  dalam perhitungannya memungkinkan.
Pertanyaan selanjutnya bagaimana dengan Nabi Isa AS, ummat Islam mempercayai bahwa Nabi Isa, yang diakui sebagai Yesus oleh penganut Kristen, memang tidak dibunuh oleh orang-orang yang mengejarnya ketika itu. Bahkan beliau belum wafat. Nabi Isa akan kembali diakhir jaman, Apakah Nabi Isa juga mengalami perjalanan dan dilatasi waktu serupa? Wallahu ‘alam bish shawwab.
Applikasi Teori Relativitas.
Salah satu aplikasi teori tersebut adalah alat GPS – Global Postioning System di Handphone anda merupakan applikasi hasil dari  theory relativitas umum dan relativitas khusus. Dalam hal ini jam satellite di orbit di bandingkan dengan jam di darat sebagai faktor koreksi pengiriman signal.
Akhirul kalam, saya menganggap bahwa pengetahuan akan adanya dilatasi waktu antar galaksi adalah suatu fenomena menarik bagi kaum muslimin. Fenomena inipun banyak terjadi pada peristiwa sehari-hari dan bahkan dipelajari oleh ilmuwan barat untuk mempelajari peristiwa di alam raya. Dan mestinya bukanlah sesuatu yang dilarang atau berlebihan untuk lebih memahami fenomena di alam. Untuk selanjutnya yang kita tunggu adalah adanya kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan untuk dapat mengungkapkan desain dari black hole dan wormhole yang gabungan keduanya mirip bentuk teratai (Sidrah atau Sidratul, dan bentuk otak pada tubuh manusia. Sehingga semua ini mudah-mudahan dapat meningkatkan ketakwaan kita dihadapan sang Pencipta.
Pustaka:
Assalamulaikum warochmatullahi wabarokatu.

sumber : http://bambies.wordpress.com/isra-miraj-dan-theori-relativitas/
readmore

Senin, 03 Desember 2012

Isra' mi'raj


ISRA’ MI’RAJ
Dalam Perspektif Islam dan Sains
Serta Hukum Memperingatinya


1. Pengertian Isra’ Mi’raj

Isra` secara bahasa berasal dari kata ‘saro’ bermakna perjalanan di malam hari. Adapun secara istilah, Isra` adalah perjalanan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Jibril dari Mekkah ke Baitul Maqdis (Palestina), berdasarkan firman Allah :

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأَقْصَى

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha “ (Al Isra’:1)

Mi’raj secara bahasa adalah suatu alat yang dipakai untuk naik. Adapun secara istilah, Mi’raj bermakna tangga khusus yang digunakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk naik dari bumi menuju ke atas langit, berdasarkan firman Allah dalam surat An Najm ayat 1-18.[1]



2. Isra’ Mi’raj dalam perspektif Islam dan Sains

A. Isra’ Mi’raj dalam perspektif Islam

Ada beberapa surat dalam Al-Qur’an yang menerangkan tentang Isra’ Mi’raj.
Diantaranya ialah Surat Al-Isra’ ayat ke-1, yang bunyinya adalah sebagai berikut:



سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا

إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Artinya:

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

1. (سبحان) Subhaana

Subhana bisa juga berasal dari kata ‘sabaha‘ artinya berenang.
Mashdar lainnya adalah Tasbih, yang berarti gerak yang dinamis. Hakekat dari seluruh materi di alam semesta ini adalah bergerak, ber-rotasi dan ber-revolusi.
Salah tiga dari materi alam semesta adalah Matahari, Bumi dan Rembulan. Rembulan atau Bulan ber-rotasi dan ber-revolusi kepada Bumi.
Bumi ber-rotasi dan ber-revolusi kepada Matahari. Matahari ber-rotasi dan ber-revolusi kepada pusat Bimasakti. dst

Jadi peristiwa Isra’ wal Mi’raj adalah fenomena pergerakan dan sangat dinamis, bukan sekedar aktifitas statis.

2. (أسرى) Asra

Asra berarti memperjalankan.
Kata ini bentuk transitif (muta’addiy) dari kata (سرى) saraa = berjalan.
Di sini jelas bahwa Allah Yang Maha Dinamis yang menentukan gerak dan diamnya, atau berjalan dan berhentinya hamba-Nya yakni Rasulullah SAW.
Jadi peristiwa Isr’a wal Mi’raj merupakan kehendak aktif Allah SWT.
Secara manusiawi…maka jarak tempuh Isra’ adalah : Mekkah – Palestina, sekitar 1.200 km.
Selanjutnya, perjalanan Mi’raj seperti dijelaskan dalam surat An-Najm yang terbagi dalam dua tahap:

Tahap 1: Gelombang ke Partikel

[53:1] Demi bintang ketika terbenam.
[53:2] kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru.
[53:3] dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quraan) menurut kemauan hawa nafsunya.
[53:4] Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
[53:5] yang diajarkan kepadanya oleh (jibril) yang sangat kuat.
[53:6] yang mempunyai akal yang cerdas; dan (jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli.
[53:7] sedang dia berada di ufuk yang tinggi.
[53:8] Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi.
[53:9] maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi).
[53:10] Lalu dia menyampaikan kepada hambaNya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan.
[53:11] Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya

Ayat 1-11 surat An-Najm di atas, menjelaskan perihal transfer dimensi dari Jibril kepada Rasulullah SAW yakni transfer dimensi cahaya kepada dimensi suara.

Tahap 2: Partikel ke Gelombang

[53:12] Maka apakah kaum (musyrik Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya?
[53:13] Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain,
[53:14] (yaitu) di Sidratil Muntaha
[53:15] Di dekatnya ada syurga tempat tinggal,
[53:16] (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya.
[53:17] Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.

Ayat ke 12 – 17 surat An-Najm di atas, Allah SWT menjabarkan praktikum Rasulullah SAW untuk melakukan transfer balik dari dimensi suara atau partikel menuju ke dimensi cahaya atau ‘gelombang elektromagnetik’.
Dan perjalanan (israa) saat itu tidak mengenal lagi hukum fisika.Dimensi waktu telah terlampaui.
Jangkauan Rasulullah SAW mampu mencakup semua dimensi di bawah layer malaikat. Padahal Malaikat menempati layer/dimensi diatas Jin, Jin di atas Syaithan/Iblis. Dan manusia berada di paling bawah.

Mari kita simulasikan Mi’raj Rasulullah SAW secara astronomis/sains, maka pertama-tama kita akan melihatnya secara masnusiawi dimana
Rasulullah SAW akan lepas dari Bumi. Dan lebar Bumi sekitar 12.700 km.
Lalu, kita manusia akan membayangkan, Rasulullah SAW lepas dari Tata Surya kita yang lebarnya 9 milyar km.
Berikutnya lepas Tata Surya masih harus lepas dari Galaksi kita (Bimasakti/Milkyway) yang panjangnya 925.000.000.000.000.000 km:

3. (عبده) ‘Abdihi

‘Abdihi berarti hamba-Nya. Hamba adalah lemah, hamba adalah tidak berdaya.
Di sini jelas, bahwa isra’ wal Mi’raj itu bukan kemauan Rasulullah SAW, karena beliau sebagai hamba yang hanya bergantung atas kehendak Allah SWT dalam melakukan perjalannya.

Jadi dalam Isr’a wal Mi’raj, Rasulullah SAW tidak berjalan sendiri, tetapi di’bantu’ Allah dalam melakukan perjalanan itu.

4. (ليلا) Lailan = Malam hari.

Malam adalah simbol kebalikan dari siang. Dua istilah yang sangat erat dengan konsep waktu. Mengapa harus malam.?
Malam memiliki keheningan, malam menyibakkan kegelapan, yang merupakan arah dari pandangan mata yang tidak pernah akan berujung. Dan perjalanan Isra’ wal Mi’raj adalah perjalanan Rasulullah SAW yang tidak mampu dijejaki ujung finalnya. Alam semesta nan luas.

5. (من المسجد الحرام الى المسجد الأقصى) Masjidil Haram-Masjidil Aqsha

Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha adalah dua starting point yang diberkahi. Dua lokasi yang dipilih Allah SWT dengan titik koordinat yang terpisah antara batas utara pergerakan tahunan Matahari. Dua lokasi sebagai kiblat pertama dan terakhir. Dan inilah tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran-Nya. Kalau kita mau berfikir.

6. (سدرةالمنتهى), Sidratul Muntaha

Berasal dari kata sidrah dan muntaha. Sidrah adalah pohon Bidara. Sedangkan muntaha berarti tempat berkesudahan, sebagaimana kata ini dipakai dalam ayat berikut: Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu), QS An-Najm [53]:41-42.

Dengan demikian, secara bahasa Sidratul Muntaha berarti Pohon Bidara tempat berkesudahan. Disebut demikian karena tempat ini tidak bisa dilewati lebih jauh lagi oleh manusia dan merupakan tempat diputuskannya segala urusan yang naik dari dunia di bawahnya maupun segala perkara yang turun dari atasnya.

Istilah ini disebutkan sekali dalam Al-Qur’an, yaitu pada ayat: Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. QS. An-Najm [53]:13:14.

Sidratul Muntaha digambarkan sebagai pohon Bidara yang sangat besar, dedaunannya sebesar telinga gajah dan buah-buahannya seperti bejana batu, sebagaimana diutarakan dalam hadits: Dari Anas bin Malik, dari Malik bin Sha’sha’ah, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam.

Diapun menyebutkan hadits Mi’raj, dan di dalamnya: “Kemudian aku dinaikkan ke Sidratul Muntaha”. Lalu Nabiyullah Shallallahu Alaihi wa Sallam mengisahkan: “Bahwasanya daunnya seperti telinga gajah dan bahwa buahnya seperti bejana batu”. Hadits telah dikeluarkan dalam ash-Shahihain dari hadits Ibnu Abi Arubah. HR al-Baihaqi (1304). Asal hadits ini ada pada riwayat al-Bukhari (3207) dan Muslim (164).

Jika Allah memutuskan sesuatu, maka “bersemilah” Sidratul Muntaha sehingga diliputi oleh sesuatu, yang menurut penafsiran Ibnu Mas’ud r.a. adalah “permadani emas”. Deskripsi tentang Sidratul Muntaha dalam hadits-hadits tentang Isra Mi’raj tersebut hanyalah berupa gambaran (metafora) sebatas yang dapat diungkapkan kata-kata. Hakikatnya hanya Allah yang Maha Tahu.

B. Isra’ Mi’raj dalam perspektif Sains

Ada beberapa kesepakatan ilmiah di kalangan saintis, khususnya fisikawan bahwa ada hal-hal ganjil yang akan terjadi bila benda berada pada kecepatan tinggi. Konsep ini disebut Relativitas (khususn dan umum) oleh sang penemunya yakni Einstein.

Relativitas, adalah teori yang saat ini menjadi pusat ilmu pengetahuan.
Teori ini terdiri atas Relativitas Khusus dan Umum. Dua teori ini pun memiliki sejarah yang berbeda. Relativitas Khusus diterima dalam beberapa tahun setelah Albert Einstein mengumumkannya. Dan ini terjadi di tengah derasnya peristiwa-peristiwa ilmiah, dan karena ini menjawab pertanyaan yang membingungkan banyak ilmuwan.
Teori ini juga memiliki kegunaan dalam bidang-bidang utama riset yang dilakukan saat itu, seperti fisika nuklir dan mekanika kwantum. Saat ini, relativitas khusus menjadi alat sehari-hari bagi para ahli fisika yang meneliti susunan materi dan gaya yang menyatukannya.

Relativitas Umum berlaku dalam skala yang jauh lebih besar, pada bintang-bintang, galaksi, dan ruang angkasa yang luas. Dibutuhkan waktu lebih lama untuk diterima, karena teori ini tampaknya tidak memiliki kegunaan prakltis. Einstein menggunakannya untuk menjelaskan kesederhanaan dan tatanan di balik alam semesta. Teori ini baru dapat diuji tahun 1960-an setelah akselerator partikel raksasa dan perlatan lain ditemukan menjadi lebih kuat.

Relativitas khusus meramalkan bahwa ketika sebuah objek mendekati kecepatan cahaya, maka akan terjadi hal-hal ganjil sebagai berikut:

1. Waktu melambat

Ini disebut dilatasi waktu. Ini diamati tahun 1941 dalam ekperimen partikel atom berkecepatan tinggi yang disebut muon.
Ini juga ditunjukkan tahun 1971, ketika jam yang amat sangat akurat, diterbangkan dengan cepat keliling dunia di atas pesawat terbang jet. Setelah dua hari,jam itu berkurang sepersekian detik dibandingkan dengan jam yang sama di permukaan bumi, karena jam itu bergerak lebih cepat.

2. Objek mengecil.

Objek yang bergerak mendekati kecepatan cahaya, akan mengalami pemendekan sesuai arah geraknya. Kalau roket antariksa bisa bergerak dengan separoh kecepatan cahaya, panjangnya akan sekitar enam per tujuh panjang aslinya di landasan luncur. Efek ini sudah diteliti sejak tahun 1890-an.

3. Massa objek bertambah.

Ini artinya objek akan bertambah berat. Ini sudah diperlihatkan berulang kali dengan eksperimen partikel yang bergerak dengan kecepatan tinggi seperti elektron.
Dari ide inilah Eistein mengembangkan rumus terkenalnya E = mc².

Mungkinkah manusia bisa bergerak secepat cahaya?
Seiring bertambahnya massa orang tersebut, maka gaya yang dibutuhkan untuk membuatnya bergerak lebih cepat lagi juga terus bertambah.
Pada hampir kecepatan cahaya, massa akan begitu besar sampai gaya yang dibutuhkan untuk memberikan dorongan ekstra itu akan sangat besar sampai mustahil. Akibatnya kecepatan cahaya tidak akan benar-benar tercapai.

Pesawat isra’ mi’raj

Dalam semalam, Rasulullah SAW melakukan perjalanan darat 1200 km, lalu ke luar angkasa dan kembali lagi.
Alat Transportasi apa gerangan yang dikendarai beliau?

Pertama, yang ingin saya uraikan disini adalah istilah Buroq. Buroq dipercaya oleh sebgian kita, sebagai tunggangan (alat transportasi utama) Rosulullah SAW saat melakukan perjalanan Isra’ wal Mi’raj.

Selama ini istilah Buroq diartikan sebagai sejenis hewan katakanlah kuda yang berkaki empat dan berkepala manusia. Berikut antara lain penjabaran istilah Buroq, dalam Mushonnif Ibnu Abi Syaibah, juz: 8, hal: 446:

(8) حدثنا علي بن مسهر عن أبي إسحاق الشيباني عن عبد الله بن شداد قال : لما أسري بالنبي (ص) أتى بدابة فوق الحمار ودون البغل ، يضع حافره عند منتهى طرفه ، يقال له (براق) فمر رسول الله (ص) بعير للمشركين فنفرت فقالوا : يا هؤلاء ما هذا ؟ قالوا : ما نرى شيئا ، ما هذه إلا ريح ، حتى أتى بيت المقدس فأتي بإنائين في واحد خمر وفي الآخر لبن ، فأخذ النبي (ص) اللبن فقال له جبريل : هديت وهديت أمتك – ثم صار إلى مصر.

Dari riwayat di atas, maka istilah Buroq adalah semisal peranakan keledai dan kuda, yakni baghal. Baik kuda maupun keledai memiliki kaki empat, hanya dalam pengejawantahan para ulama (pedesaan) selama ini, kepala Buroq adalah bewujud kepala manusia yang sangat tampan,
wa Allahu a’lamu.

Buroq Secara Sains

Nah, mari kita maknai Buroq dengan lebih mendasar. Sebuah makna yang memiliki dasar, baik aqli (nalar) lebih2 naqli (syar’i)nya. Lalu dengan adanya pemahaman Buroq yang lebih pas, kita akan mencoba melihat kebenaran Isra’ wal Mi’raj ini.

Buroq berasal dari kata ” براق “, dan kata ini berangkat dari kata dasar “براق” yang berarti kilat atau petir, yakni percikan cahaya. Jadi “براق” adalah cahaya, atau dengan kata lain sarana Transportasi Rosulullah SAW saat Isra’ wal Mi’raj adalah Pesawat dengan Kecepatan Cahaya.

Berangkat dari beberapa efek relativitas di atas, bahwa satu hal yang pasti adalah semua efek yang timbul akibat adanya teori Relativitas simbah Einstein belum final secara frontal. Dilatasi waktu misalnya memang sudah dibuktikan lewat perangkat jam digital super sensitif, namun dampak masih sangat bertambah entah semakin melambat atau malah justru akan mengalami titik balik dan lalu bukan melambat tetapi bertambah cepat, semuanya hanya Sang Pencipta semua hukum alam ini-ALLAH SWT, yang Maha Tahu. Begitu pun 3 efek lainnya.

Cahaya sendiri sebagai sebuah paket energi dalam teori kuantum, ternyata merupakan bagian dari gelombang elektromagnetik. Gelombang elektromagnetik sangat mungkin memiliki beragam kecepatan, terlebih bila melalui medium berbeda. Jadi bisa jadi ketika malam Isra’ wal Mi’raj, medium alam ini mengalami penurunan indeks bias, sehingga laju sang Buroq menjadi sangat cepat.

Cahaya, seperti yang kita pahami memiliki kecepatan 300.000.00 m/s. Dengan kecepatan ini saja, sang Buroq sudah mampu berkeliling Bumi sebanyak 8 kali dalam satu detik. Maka jarak Mekkah-Palestina saat Rosulullah SAW berisra’ yang hanya kl 1.250 km, sangat mungkin terjadi.

Selanjutnya, berapa lebar atau panjang alam semesta ini, berapa jauh Rosulullah SAW melintasi tujuh lapis langit..?
Pertayaan ini sukar untuk dijawab, sebab Alam Semesta sedang mengembang. Jadi tergantung sisi pandang mana pertanyaan tentang lebar alam semesta ini ditanyakan…

Setidaknya ada 4 skala jarak-perbedaan yang masyhur di kalangan kosmologi:

(1) Luminosity Distance – DL
Sekitar 350 miliar tahun cahaya.

(2) Angular Diameter Distance – DA
Sekitar 14 miliar tahun cahaya.

(3) Comoving Distance – DC
Sekitar 47 miliar tahun cahaya.

(4) Light Travel Time Distance – DT
Sekitar 14 miliar tahun cahaya.

Kiranya, medium memang menentukan cepat-rambat laju cahaya, maka perjalanan isra’ wal Mi’raj Rosulullah SAW adalah peristiwa yang sangat niscaya.

Mari kita tinjau Mi’raj. Nabi SAW bermi’raj dari al-Aqsha ke Sidratil Muntaha, tempat yang jauh. Dimanakah tempat yang jauh itu? Pluto, karena antara Bumi dan Pluto terbentang tujuh planit dengan Bumi ikut dihitung (yang ditafsirkan tujuh langit).

Dimanakah tempat terjauh itu?
Kalo kita bicara pada jagat raya kita, berdasarkan spektra yang bisa dilihat dan diterjemahkan oleh indera kita, tempat itu ada di quasar CFHQS 1641 + 3755 yang jauhnya 12,7 milyar tahun cahaya.

Mari anggap Sidratil Muntaha waktu itu ada di jagat raya kita, dan bertempat pada jarak sejauh itu. Nah bagaimana caranya ke sana?
Dengan kendaraan secepat cahaya pun manusia baru akan sampai ke sana setelah 12,7 milyar tahun. Padahal Nabi SAW menempuhnya hanya dalam semalam (maksimum 12 jam).

Jika merujuk Relativitas Umum, sebenarnya ada mekanisme yang memungkinkan untuk memintas ruang-waktu seperti itu.
Ada yang disebut lubang cacing (wormhole) yang memungkinkan sebuah obyek memintas ruang-waktu dan sampai di bagian lain dari jagat raya ini dengan “cepat”.
Dan lubang cacing ini selalu berujung pada singularitas lokal, seperti lubang hitam ataupun lubang putih.
Meski dalam lubang hitam ini gravitasinya memang demikian kuat hingga foton pun takkan bisa melepaskan diri darinya, namun kita tahu bahwa asas ketidakpastian Heisenberg dan entropi lubang hitam mengatur bahwa ada foton yang bisa keluar dari kungkungan gravitasi ini, yang dikenal sebagai radiasi Hawking.

Nah, ketika bermi’raj Nabi SAW melewati terowongan ruang-waktu yang berujud lubang cacing ini untuk menuju ke Sidratil Muntaha pergi pulang.
Namun apakah memang benar-benar demikian?
Wallahua’lam bi ashawwaab.


3. Hukum merayakan Isra’ Mi’raj

Ada 2 pendapat yang menerangkan tentang hukum merayakan Isra’ Mi’raj :

a. Hukum haram

Kelompok salafy menganggap bahwa merayakan isra’ mi’raj hukumnya haram.
Inilah beberapa hal yang mendasari pendapat mereka :

1. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri tidak pernah merayakannya atau memerintahkan kepada umatnya untuk merayakannya.

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهْوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang beramal dengan suatu amalan yang bukan termasuk urusan (syari’at) kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim)

2. Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali, dan seluruh shahabat radhiyallahu ‘anhum tidak pernah pula merayakannya. Demikian pula para tabi’in, seperti Sa’id bin Al-Musayyib, Hasan Al-Bashri, dan yang lainnyarahimahumullah.

3. Para ulama yang datang setelah mereka, baik itu imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad), Al-Bukhari, Muslim, An-Nawawi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Katsir, Ibnul Qayyim, Ibnu Hajar Al-’Asqalani, dan yang lainnya rahimahumullah, hingga para ulama zaman sekarang ini. Mereka semua tidak pernah merayakannya, apalagi menganjurkan dan mengajak kaum muslimin untuk mengadakan peringatan itu. Tidak didapati satu kalimat pun dalam kitab-kitab mereka yang menunjukkan disyari’atkannya peringatan Isra’ Mi’raj.

4. Kenyataan yang terjadi jika perayaan ini benar-benar diadakan, yaitu munculnya berbagai kemungkaran, di antaranya:

a. Terjadinya ikhtilath, yaitu bercampurbaurnya antara laki-laki dan perempuan.

b. Dilantunkannya shalawat-shalawat yang bid’ah dan bahkan sebagiannya mengandung kesyirikan.

c. Didendangkannya lagu-lagu dan alat musik yang jelas haram hukumnya.

d. Mengganggu kaum muslimin. Di antara bentuk gangguan itu adalah:

§ Terhalanginya pemakai jalan atau minimalnya mereka kesulitan ketika hendak melewati jalan di sekitar lokasi acara, karena banyaknya orang di sana.

§ Suara musik dan lagu yang sangat keras pada acara terebut, juga mengganggu tetangga dan masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi acara. Orang yang telah lanjut usia, orang sakit, maupun bayi-bayi dan anak-anak kecil yang semestinya membutuhkan ketenangan, mereka terganggu dengan adanya suara musik yang sangat keras tadi.

Tidak semestinya beberapa gangguan tadi dianggap sepele dan ringan. Kecil maupun besar, setiap perbuatan yang bisa mengganggu dan menyakiti kaum muslimin, maka pelakunya terkenai ancaman:

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا

“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (Al-Ahzab: 58)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَائِقَهُ

“Tidak akan masuk al-jannah orang yang tetangganya merasa tidak aman dari gangguannya.” (HR. Muslim)

e.Tidak sedikit kaum muslimin yang melalaikan shalat berjama’ah di masjid, bahkan yang lebih parah kalau sampai meninggalkan shalat fardhu.
Ketika acara dimulai ba’da shalat Isya’ misalnya, sejak sore banyak yang sudah stand by di tempat acara. Mulai dari penjual-penjual dengan aneka barang dagangannya, pengunjung acara, sampai panitia acara pun, mereka lebih memilih berada di ‘pos-pos’ mereka daripada masjid ketika dikumandangkannya adzan maghrib dan isya’. Wal ‘iyadzubillah.

Semestinya umat ini dibimbing untuk kembali kepada agamanya. Mereka sangat antusias menyambut dan menghadiri acara peringatan Isra’ Mi’raj, namun mereka belum memahami hikmah dan pelajaran yang terkandung di dalamnya. Sebuah peristiwa dan mu’jizat besar yang saat itulah kewajiban shalat lima waktu ini diberlakukan kepada umat Islam. Suatu musibah jika salah satu rukun Islam ini dilalaikan hanya karena ingin ‘menyukseskan’ acara yang sudah pasti menelan biaya yang tidak sedikit tersebut.

Kalau masih ada yang beranggapan bahwa perayaan untuk memperingati Isra’ Mi’raj itu adalah baik, maka katakanlah sebagaimana kata Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah:

مَن ابْتَدَعَ في الإِسلام بدعة يَراها حَسَنة ؛ فَقَدْ زَعَمَ أَن مُحمّدا – صلى الله عليه وعلى آله وسلم- خانَ الرّسالةَ ؛ لأَن اللهَ يقولُ : { الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ فما لَم يَكُنْ يَوْمَئذ دينا فَلا يكُونُ اليَوْمَ دينا}

“Barangsiapa yang mengadaka-adakan kebid’ahan dalam agama Islam ini, dan dia memandang itu baik, maka sungguh dia telah menyatakan bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah berkhianat dalam menyampaikan risalah, karena Allah telah berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ

(Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian), maka segala sesuatu yang pada hari (ketika ayat ini diturunkan) itu bukan bagian dari agama, maka pada hari ini pun juga bukan bagian dari agama.”

Sumber : Media Salafy

b. Hukum Boleh

Beberapa kelompok, seperti NU, NW, dkk memperbolehkan dengan alasan sebagai berikut :
Apapun yang ada di sekeliling kita, jelas tidak ada di zaman Nabi. Yang menjadi prinsip kita adalah esensi. Esensi dari suatu kegiatan itulah yang harus kita utamakan.

Nabi Muhammad SAW bersabda : ‘Barang siapa yang melahirkan aktifitas yang baik, maka baginya adalah pahala dan [juga mendapatkan] pahala orang yang turut melakukannya’ (Muslim dll). Makna ‘aktifitas yang baik’ –secara sederhananya–adalah aktifitas yang menjadikan kita bertambah iman kepada Allah SWT dan Nabi-Nabi-Nya, termasuk Nabi Muhammad SAW, dan lain-lainnya. dan banyak lagi hadits-hadits yang dijadikan sebagai rujukan bahwa memperingati Isro` mi`roj itu hukumnya dibolehkan.

Baiklah ikhwah fillah yang dimuliakan Alloh SWT, demikian itulah beberepa pendapat Ulama Islam tentang hukum memperingati Isro` Mi`roj, tentunya bagi masyarakat umum sangatlah bingung untuk menentukan sikap terhadap dua pendapat Ulama tersebut, maka bagaimanakah seharusnya kita sebagai masyarakat muslim menyikapi dua pendapat tersebut?

Sebaiknya kita sebagai muslim memperhatikan sisi kebaikan dari peringatan Isra` mi`raj tersebut karena Alloh tidak pernah melarang hambanya untuk selalu berbuat kebaikan terhadap agamanya, dengan melihat sisi positif perayaan/peringatan isra` mi`raj saya rasa tidak ada salahnya kita merayakannya karena :

1. Sebagai media pemersatu Ummat Islam
2. Mengingatkan kembali kepada masyarakat tentang kejadian besar yang telah dialami Nabi Muhammad SAW
3. Syiar kebangkitan islam
4. dan lain sebagainya

dan sebenarnya yang salah adalah bukan terletak pada bid`ahnya, akan tetapi yang salah adalah mencampur adukkan kebaikan dengan berbagai penyimpangan syariah,dan inilah sebagai tugas kita untuk meluruskan pandangan masyarakat.

Wallohu a`lam Bisshowab

4. KESIMPULAN

1. Peristiwa Isra’ Mi’raj merupakan tanda kekuasaan Allah SWT.
2. Menurut pandangan agama, peristiwa Isra’ Mi’raj adalah hal yang benar-benar terjadi dan patut untuk di imani oleh semua umat Islam.
3. Dalam pandangan sains, Isra’ Mi’raj belum diketahui secara pasti kebenarannya, karena keterbatasan otak manusia.
4. Hukum merayakan Isra’ Mi’raj ada 2, yaitu haram dan boleh, tergantung keyakinan masing-masing individu.


5. DAFTAR PUSTAKA

http://muslim.or.id/aqidah/kisah-isra-miraj.html
http://mjalaluddinjabbar.blogspot.com/2012/06/menyikapi-diantara-dua-hukum.html
http://www.kinantan.com/2012/06/sejarah-dan-pengertian-hikmah-isra.html#.ULwxDmcp12k
http://nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,4-id,38469-lang,id-c,kolom-t,Isra++Mi+raj+dalam+Perspektif+Sains+dan+Agama-.phpx

readmore

Jumat, 19 Oktober 2012

Bayani, Burhani dan Irfani sih siapa?

1. Bayani
A : Wah, ini sih pak bayan, tetangga ane.
B : Iya bener gan, tapi yang ane bahas bukan tetangga ente lho...:p
A : Trus apa dong?
B : Hmm, secara etimologi, bayani mempunyai arti menyambung, memisah-misahkan, terang dan jelas, kefasihan dan kemampuan dalam menyampaikan, serta kekuatan untuk  menerima dan menyampaikan kejelasan. (mungkin karena artinya yang cukup bagus, jadi ada beberapa orang yang menggunakannya sebagai nama anaknya kali ya, termasuk nama tetangga ente tuh... :p )

Sedangkan secara terminologi, dengan mengutip pendapat al-Jahiz dalam kitabnya al-Bayan wa al-Tabyin, al-Jabiri  mengartikannya sebagai nama universal (ism jami’) bagi setiap pemahaman  makna,  sedangkan apabila merujuk kepada pendapat al-Syafi’i, bayani merupakan nama universal bagi makna-makna yang terdapat dalam kumpulan landasan pokok (al-ashl) dan  mengurai cabang (al-furu’).

Jadi, Bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan teks, nas secara langsung atau tidak langsung, dan diterima oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi.

 2. Burhani
A : Wah, parah. Masa bokap ane di tulis di blog agan.
B : Wuiihh, nama bokap ente pak burhan toh?
B: Maaf, ane bukan mau nggosip soal bokap ente nih.
Baca dulu aja ya gan, biar ente ga salah paham sama ane...:)
Burhani di ambil dari bahasa arab, Al-Burhan dalam bahasa Arabnya berarti argumen yang clear . Dalam pengertian logika, al-burhan adalah aktivitas fikir yang menetapkan kebenaran sesuatu melalui penalaran dengan mengkaitkan pada pengetahuan yang bukti-buktinya  mendahului  kebenaran. Sedangkan dalam pengertian umum, al-burhan berarti aktivitas fikir untuk menetapkan kebenaran sesuatu.

Al-Jabiri menggunakan burhani sebagai sebutan terhadap sistem pengetahuan  yang  berbeda  dengan  metode  pemikiran  tertentu  dan memiliki world view tersendiri, yang tidak bergantung pada hegemoni sistem pengetahuan lain. Burhani  mengandalkan  kekuatan  indera, pengalaman, dan akal dalam mencapai kebenaran.

gimana?
bukan mbahas tentang bokap ente toh? hehehe

3. 'Irfani
A : Wah, ini ga salah lagi. Pasti dosen ane, pak Irfan. Ya kan?
B : Eits, tunggu dulu.
Jangan asal njeplak aja tuh mulut, sebelum ngomong, dengerin dulu dong penjelasannya.
kan kita diberi telinga 2 dan mulut cuma 1.
itu tandanya Allah memang pengin memberikan kita pelajaran kalo kita tuh lebih baik banyak mendengar daripada banyak ngoceh.
apalagi ngoceh ga jelas kayak burung beo.... :p :p :p
Yuk mari kita simak...:)

Kata ‘irfan adalah bentuk masdar dari kata ‘arafa yang berarti ma’rifah (ilmu pengetahuan. Kemudian ‘irfan lebih dikenal sebagai terminologi  mistik  yang  secara  khusus  berarti  “ma’rifah”  dalam pengertian “pengetahuan tentang Tuhan]”. Kalau ilmu (pengetahuan eksoterik) yakni pengetahuan yang diperoleh indera dan intelek melalui istidlal, nazhar, dan burhan, maka ‘irfan (pengetahuan esoterik) yaitu pengetahuan yang diperoleh qalb melalui kasyf, ilham, i’iyan (persepsi langsung), dan isyra.

Mungkin sebagian orang mengira Bayani, Burhani dan Irfani adalah nama-nama orang.
Tapi diatas itu saya tidak pernah menjelaskan orang-orang yang bernama Bayani, Burhani maupun Irfani...
Ya, kalian memang tidak salah, banyak nama orang yang diambil dari nama-nama itu.
tetapi diatas saya tengah menjelaskan tentang METODE FIQIH....


sumber :
http://babydee-el-habib.blogspot.com/2012/04/bayani-burhani-irfani.html
http://blog.umy.ac.id/aufklarung/2011/11/29/epistimologi-bayani-burhani-dan-irfani/
readmore

Minggu, 14 Oktober 2012

Lima Paradigma Hubungan Islam dan Sains


Oleh : Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar
SyariahPublications.Com – Science (from Latin scientia, meaning “knowledge”) is a systematic enterprise that builds and organizes knowledge in the form of testable explanations and predictions about the universe.

Sains didefinisikan sebagai sebuah usaha yang sistematis untuk membangun dan mengorganisasikan pengetahuan dalam sebuah bentuk penjelasan atau prediksi yang bisa diuji tentang alam semesta.

Sebagian sains sudah ada sejak sebelum Islam datang.  Sains tentang panjang sisi miring sebuah segi tiga siku-siku sudah ditemukan Phytagoras, matematikawan Yunani (wafat 495 SM). Sains tentang hidrolika sudah ditemukan Archimedes (wafat 212 SM).   Sains tentang Astronomi sudah ditulis oleh Ptolemeus (wafat 168 SM).  Sains tentang banyak hal dicoba dirumuskan oleh Aristoteles (wafat 322 SM).

Beberapa jenis sains ini masih dicampuri berbagai mitos, filsafat, kecenderungan spiritual tertentu, aksioma yang tidak berdasar, atau harapan-harapan palsu.  Astronomi masih dicampuri dengan ramalan nasib, dan ilmu kimia masih dicampuri dengan pembuatan ramuan sihir.

Ketika Islam datang, Islam memberikan sejumlah hal, yang kemudian generasi selanjutnya mereview hubungan antara iman-Islam dengan sains.  Dalam perkembangannya, teramati ada lima macam paradigma hubungan Islam & Sains.

1. SAINS – ISLAM
Adalah Rasulullah sendiri yang ditunjukkan dalam hadits tentang kasus penyerbukan kurma, yang menunjukkan bahwa urusan sains & teknologi adalah “urusan kalian”.  Nabi datang dengan membawa wahyu adalah untuk mengatur pandangan, sikap atau perilaku manusia yang tidak bisa ditemukannya sendiri dengan sains.  Qur’an bicara hal-hal ghaib tentang masa lalu yang sangat jauh saat penciptaan bumi & langit, saat penciptaan manusia, atau masa depan yang juga sangat jauh, saat bumi & langit digulung lalu semuanya dibangkitkan kembali untuk menghadapi pengadilan.  Ini adalah hal-hal yang tidak mungkin diuji dengan sains, tetapi hanya dapat diketahui dari kabar di dalam Qur’an.  “When the science end, begin the faith”.  Islam memberikan kepada manusia berberapa norma perilaku yang halal dan haram, bukan atas dasar pembuktian sains, tetapi atas dasar kepatuhan kepada Tuhan selaku pencipta manusia.  Bahwa di balik halal – haram itu bakal ada hikmah pada jangka panjang, bisa saja, tetapi itu bukan dasar diberlakukannya norma tersebut.  Seorang muslim mematuhi norma itu karena keimanannya, bahwa Allah yang Maha Tahu, pasti tidak akan memberikan perintah yang tidak memberikan manfaat pada jangka panjang, sekalipun kita belum tahu secara saintifik.
Karena itu, para ilmuwan generasi salaf, menjadikan Islam sebagai motivator mereka mencari ilmu – bahkan sampai ke Cina, atau inspirator dalam menggali objek-objek yang hanya disinggung selintas di dalam Qur’an.  Mereka mendalami astronomi berawal dari buku Almagest karya Ptolemeus, lalu dikembangkannya sendiri dengan membangun banyak observatorium, karena dorongan ayat surat Al-Ghasiyah “Apakah mereka tidak memperhatikan, bagaimana langit ditinggikan?”.  Mereka menjadikan syariat Islam sebagai pagar tentang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh selama mencari ilmu itu.  Maka mereka yakin bahwa ilmu sihir tidak boleh dipelajari, meski ada rasa ingin tahu yang besar, karena ilmu itu menuntut dipelajari dengan praktikum yang melanggar syariat dan penuh kesyirikan.  Dan mereka juga menjadikan Islam sebagai arah bagaimana ilmu itu diamalkan.  Para ilmuwan muslim selalu berusaha keras agar setiap rumus hukum alam yang mereka temukan, atau setiap senyawa kimia yang berhasil direkayasa, dapat menjadi berkah dan investasi pahala yang mengalir terus meski ditinggal mati.  Sains dan teknologi tidak dikembangkan untuk menjajah manusia, tetapi untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.  Inilah hubungan model SAINS – ISLAM ala Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu al-Haitsam, Muhammad al-Khawarizmi, Ibnu Khaldun, dan sebagainya.

2. ISLAMISASI SAINS
Pola islamisasi sains sebenarnya baru muncul abad 20, ketika dunia Islam sudah tidak lagi memiliki ilmuwan-ilmuwan atau saintis-saintis handal kelas dunia.  Islamisasi Sains berusaha menjadikan penemuan-penemuan sains besar abad-20 yang mayoritas terjadi di Barat, dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan keimanan umat Islam.  Misalnya, penemuan ultrasonografi yang dapat melihat proses terbentuknya janin di dalam perut, atau penemuan kecepatan cahaya, diklaim sebagai telah disebutkan di dalam Qur’an, sehingga diharapkan makin mempertebal iman seorang muslim bahwa Qur’an telah mendahului sains, karena diturunkan oleh Allah Yang Maha Tahu.  Inilah hubungan yang dikembangkan banyak muslim saat ini, dan yang menonjol adalah Harun Yahya.  Hubungan ini mendapat banyak kritik, bahwa hubungan ini hanya sekedar menghubung-hubungkan hal-hal yang semula tidak berhubungan (othak-athik-gathuk), karena para ilmuwan muslim masa lalu pun tidak berpikir ke sana, dan hubungan ini belum berhasil mendorong kreatifitas muslim dalam meneliti atau mendapatkan fakta sains baru.  Hubungan ini juga bisa berdampak negatif, ketika fakta sains yang dimaksud ternyata di masa depan harus dikoreksi secara signifikan, karena ada data atau model analisis yang baru.

Di luar paradigma ini ada usaha-usaha untuk “menggantikan” asumsi-asumsi dasar yang ada pada “sains-sekuler” saat ini dengan Islam.  Misalnya mengganti “teori-kekekalan-massa-energi” di fisika, dengan alasan yang kekal hanya Allah.  Tetapi sebenarnya penggantian asumsi ini tidak relevan dengan sains itu sendiri, karena yang dimaksud “kekekalan massa-energi” dalam fisika adalah “kekekalan pada skala laboratorium”.  Fisika tidak membahas dunia di saat penciptaan ataupun di saat kiamat nanti, karena tidak bisa diuji.  Kita memang mengasumsikan bahwa hukum-hukum fisika yang kita kenal itu berlaku di seluruh jagad raya dan kapanpun.  Mengapa?  Karena kita tidak bisa mendapatkan hukum-hukum fisika lain di sesuatu yang tidak bisa kita hadirkan untuk diuji.  Jadi asumsi dasar apakah dunia diciptakan Allah (sebagaimana keimanan seorang muslim) atau muncul dengan sendirinya (seperti keyakinan seorang atheis), tidak akan berpengeraruh pada rumusan hubungan antar fenomena alam semesta di dalam sains itu sendiri.

3. SAINTIFIKASI ISLAM
Saintifikasi Islam juga baru muncul abad-20.  Idenya adalah bagaimana agar perintah-perintah Islam dapat dipahami secara ilmiah.  Misalnya bahwa tata cara sholat memang akan menghasilkan dampak positif secara fisiologis/psikologis, atau bahwa penerapan mata uang tunggal berupa dinar-emas/dirham-perak akan menghasilkan kondisi ekonomi yang terbaik.  Contoh ilmuwan yang beberapa kali menggunakan paradigma hubungan ini adalah Prof. Dadang Hawari.  Beliau melakukan riset yang mendalam dengan alat-alat pencatat denyut jantung (EKG) atau sinyal otak (EEG), juga mengambil sampel darah dan menganalisisnya, pada orang-orang yang rajin melakukan sholat (khususnya tahajud) dan puasa.  Secara umum sebagai upaya memuaskan rasa ingin tahu, hal ini sah-sah saja, dan juga diakui sebagai aktivitas saintifik.  Hanya saja, hasil riset seperti ini tidak akan menambah atau mengurangi norma perintah/larangan yang diberikan oleh Islam.  Aktivitas saintiifikasi Islam juga tidak produktif pada aspek-aspek yang didiamkan (tidak diatur secara tegas) oleh agama.

4. SAINS TA’WILI
Sains Ta’wili juga baru mengalami “kebangkitan” di abad-20.  Bentuknya adalah menggali ayat-ayat Qur’an atau hadits Nabi, lalu mencoba membuat postulat yang dianggap ilmiah, dengan mengabaikan uji teori secara empiris atau eksperimen.  Contohnya adalah, ketika ada ayat tentang “Matahari beredar …” lalu “Bulan dan Bintang beredar …”, sedang tidak ada ayat yang berbunyi bahwa “Bumi beredar …”, maka mereka berkesimpulan bahwa pastilah Bumi ini pusat alam semesta.  Kesimpulan ini jelas bertentangan dengan fakta-fakta keras yang menjadi dasar teknologi ruang angkasa saat ini.  Tetapi para penganut sains ta’wili bersikukuh bahwa “Qur’an lah yang benar”.  Mereka mengabaikan kenyataan bahwa pendapat mereka itu hanyalah ta’wil, bukan Qur’an itu sendiri.  Banyak hal yang tidak disebutkan di dalam Qur’an, dan itu tidak berarti tidak ada atau tidak akan pernah ada.  Existensi es di kutub-kutub bumi tidak disebutkan di dalam Qur’an, tetapi faktanya kan ada.  Demikian juga bahwa suatu ketika mahluk hidup bisa dikembangbiakkan dengan teknik “cloning”, itu tidak berarti melawan ayat suci, karena sebenarnya Qur’an tidak pernah membicarakan hal itu.  Sementara itu, di sisi sains juga banyak juga teori yang sebenarnya juga hanya ta’wil, bukan sains itu sendiri.  Charles Darwin sebenarnya hanya mendapatkan fosil-fosil yang berbeda-beda dengan usia berbeda-beda, sehingga dia menyimpulkan adanya evolusi.  Tetapi bahwa evolusi itu akan mengantarkan monyet menjadi manusia, tentu itu adalah ta’wil, karena tidak mungkin ada uji experimen untuk evolusi manusia.  Waktu yang dibutuhkan akan sangat lama (ratusan ribu tahun).  Di dunia Kristen, sains ta’wili atas Bibel mengantarkan mereka untuk menghukum para ilmuwan seperti Galileo atau Copernicus karena dianggap melawan ajaran gereja.  Di dunia Islam, hal yang sama terulang sejak abad-20, ketika beberapa tokoh ulama di Saudi menggunakan sains ta’wili untuk menganggap kafir ilmuwan yang tidak percaya pada “teori Geosentris ala Islam”.

Contoh lain sains ta’wili banyak ditemui di dunia kesehatan.  Ketika ada hadits shahih “Habatussaudah itu obat segala penyakit selain maut”, maka pendukung sains ta’wili dengan serta merta yakin bahwa habatussaudah itu dapat mengobati penyakit yang sekarang belum ketemu obatnya, seperti HIV/AIDS, dan ketika penderita tersebut akhirnya mati juga (karena tidak sembuh), mereka berkilah, “ya itu karena maut memang tidak bisa diobati”.  Kalau seperti ini halnya, tentunya penyakit apapun bisa diklaim begitu saja.  Yang jelas, perjalanan sejarah ilmuwan kedokteran salaf justru tidak seperti itu.  Ibnu Sina, Abu Qasim az-Zahrawi atau Ibnu an-Nafs tidak berhenti dengan obat segala penyakit seperti habatussaudah.  Mereka mengembangkan banyak hal, sampai ke pembedahan dsb, untuk menemukan metode pengobatan yang paling efektif, dan tidak membiarkan maut menjemput pasien, kecuali seluruh ikhtiar yang ilmiah sudah dikerjakan.

5. SAINS SEKULER
Sains sekuler adalah sains yang mendominasi dunia saat ini, ketika sains sama sekali menolak untuk menerima keberadaan Tuhan.  Akibatnya, Tuhan tidak boleh dibawa-bawa ketika menggeluti sains, dalam bentuk apapun, baik itu sekedar sebagai inspirator, pagar yang mengatur metode ilmiahnya, hingga aplikasi penemuannya.  Ilmuwan yang masih melibatkan Tuhan dalam kajian ilmiahnya dianggap sebagai saintis yang tidak serius.  Tuhan biarlah berada di tempat terhomat, yang tidak diganggu oleh rumus dan falsifikasi.  Tuhan biarlah tetap di ujung lorong sana di tempat-tempat yang tidak bisa dikunjungi sains.  Yang menyedihkan, sains sekuler ini diajarkan pada anak-anak kita di semua mata pelajaran, termasuk di pelajaran agama, dan termasuk di sekolah-sekolah Islam.

Sebagian orang mengalami kesulitan membedakan paradigma-1 (SAINS ISLAM) dengan paradigma-5 (SAINS SEKULER). Sebagian penganut paradigma-4 (SAINS TA’WILI) bahkan menuduh praktisi paradigma-1 telah terjebak dalam sekulerisme, karena dianggap menolak dalil wahyu yang pasti benar, padahal yang disangka dalil itu masih mutasyabihat.  SAINS ISLAM sangat berbeda dengan SAINS SEKULER di tiga hal, yaitu (1) inspirasi/motivasi mengembangkan sains, (2) metode mengembangkan sains, (3) pembatasan dalam aplikasi sains, yaitu teknologi/inovasi.  Hasilnya: SAINS ISLAM akan jauh lebih berkah, karena didorong oleh semangat mensyukuri kebesaran Allah dan semangat menjadikan umat Islam umat terbaik bagi manusia, bukan semangat exploitasi manusia atas manusia lain; dikembangkan dengan mematuhi hukum syara’, bukan mengabaikannya; dan diterapkan untuk merahmati seluruh alam, bukan untuk menjajah.
Lantas kita akan memilih paradigma yang mana? (www.syariahpublications.com)

readmore

Hubungan Ilmu pengetahuan dan Islam


Di dalam alam semesta ini maka jika diperhatikan, akan terjadi banyak sekali fenomena yang luar biasa. Dan semuanya ternyata telah dijelaskan didalam Al-Qur`an sebagai pembelajaran dari Allah Swt kepada hamba-Nya yang beriman agar mereka berpikir dan menjadi pintar.
Berikut saya cuplikkan dari buku “This is The Truth, Newly Discovered Scientific Focts Revealed in the Quran & Authentic Hadeeth” dimana terdapat diskusi antara Abdullah M. al-Rehaili (penulis) dengan Profesor Shrceder (ilmuwan kelautan dari Jerman). Disana penulis mengatakan “Kami bertemu dengannya pada seminar Ilmuwan Kelautan yang diselenggarakan di Universitas King Abdul Aziz, Jeddah. Saya bertanya untuk mengantarkan pembicaraan fenomena laut antara penemuan ilmiah dan ayat Al-Qur`an. Pada hari selanjutnya, Profesor Shroeder berdiri dan memberi komentar apa yang telah kami katakan: “Saya hendak memberi komentar tentang kuliah yang disampaikan Syeikh az-Zindani kemarin, dan akan mengatakan berapa banyak saya menghargai perkuliahan ini dalam rangka pertemuan ilmiah. Seseorang tidak dibutuhkan untuk menjadi seorang Muslim (untuk melihat ilmu pengetahuan dalam konteks agama yang lebih luas), bahkan untuk saya seorang Nasrani, penting tidak hanya melihat ilmu pengetahuan, namun saya juga dalam perasaan dan gambar yang lebih lebar dan ketika dibandingkan dengan agama, lihatlah hal ini dalam konteks agama”
Setelah mengetahui hal itu, Profesor Shroeder mendiskusikan hubungan antara ilmu pengetahuan dan agama. Dia menunjukkan jurang pemisah antara agama yang berbeda-beda dan ilmu pengetahuan. Maka dari itulah terdapat saling bertolak belakang antara pemikiran pemuka agama dan ilmuwan. Namun, Profesor Shroeder heran ketika dia ditunjukkan kebenaran yang berisi bermacam-macam ayat Al­-Qur`an yang telah diturunkan 1400 tahun yang lalu. Dia memberi komentar: “Dalam beberapa agama, kita mendapatkan pemuka agama yang berpikir bahwa ilmu pengetahuan dapat mengambil sesuatu dari agama. Jika ilmu pengetahuan  membuat peningkatan, agama harus berputar kembali, menjadi dilanggar batasannya. Di sinilah kita lihat sebuah pendekatan yang berbeda secara lengkap. “Syeikh az-Zindani menunjukkan kita bahwa ilmuwan itu sebenarnya hanya menegaskan apa yang telah tertuliskan di dalam Al-Qur`an beberapa tahun yang lalu. Sebenarnya ilmuwan sekarang menemukan apa yang telah dikatakan sebelumnya, saya pikir hal ini penting. Penting dalam arti untuk diadakan sebuah simposium atau workshop untuk dijadikan peran serta, diskusi, dan persetujuan ilmuwan dari seluruh bangsa dan saya yakin bahwa kita semua akan pulang dan sekarang berpikir lebih banyak lagi tentang hubungan antara agama dan pengetahuan kelautan’”.
Hal ini menjadi jelas bahwa para ilmuwan sekarang hanya menemukan apa yang telah tersebut di dalam Al-Qur`an sejak 1400 tahun yang lalu. Hal ini mengingatkan kita pada pernyataan sebagai berikut: Siapa yang memberitahukan Nabi Muhammad tentang hal ini? Siapa yang menurunkan pengetahuan ini kepadanya? Sebab, inilah kebenaran yang se-zaman dengan apa yang diketahui oleh para ilmuwan, baik itu mereka sebagai ahli astronomi, ahli kelautan, ahli geologi atau ahli dalam bidang keilmuwan yang lain, akan tetapi Al-Qur`an dan Sunnah telah menyebutkannya.
Setelah mendengarkan kita, Profesor Shroeder percaya dengan sepenuhnya dan membuat pernyataan sebagai berikut:
“Tidak ada pengetahuan pada satu sisi, juga agama pada satu sisi. Orang-orang tidak berbicara dengan yang lain, akan tetapi mereka akan menuju pada satu petunjuk. Mereka menyatakan hal yang sama dalam bahasa yang berbeda, bahasa ilmiah (bahasa abstrak) dan bahasa tulisan, sebagaimana yang telah dikatakan Syeikh”
Dia meminta dengan jelas bahwa kenyataan ini dipersembahkan untuk seluruh umat manusia di seluruh dunia, akan tetapi khusus untuk ilmuwan dalam pusat studi mereka, dalam semua bahasa. Sehingga mereka paham dengan jelas dan ada hubungan yang benar antara agama dan ilmu pengetahuan yang telah diklarifikasikan. Kita berbicara tentang agama yang telah bebas dari distorsi. Pengetahuan yang benar harus ditegaskan dengan agama yang benar.
Sebagaimana dalam konteks Islam, seperti yang tersebut di dalam Al-Qur`an:
“Katakanlah: Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi” (QS. Yunus [10] : 101)
“Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-­benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah untuk orang-orang yang beriman. Dan pada penciptaan kamu dan pada binatang-binatang yang melata yang bertebaran (di muka bumi) terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk yang meyakini. Dan pada pergantian malam dan siang dan hujan yang diturunkan Allah dari langit lalu dihidupkannya dengan air hujan itu bumi sesudah matinya, dan pada perkisaran angin terdapat pula tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kamu yang berakal. Itulah ayat-ayat Allah yang Kami membacakannya kepadamu dengan sebenarnya, maka dengan perkataan manakah lagi mereka akan beriman sesudah (kalam) Allah dan keterangan-keterangan-Nya” (QS. al-Jaatsiyah [45] : 3 -6)
“Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS. az-Zumar [39] : 9)
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan melainkan Allah”
 (QS. Muhammad [47] : 19)
Agama mendorong kita untuk memperoleh pengetahuan dan mengharapkan kita merenungkan alam semesta dalam sebuah bahasa yang bisa dipahami sekarang. Maka dari itulah mari sekali lagi kita mempelajari dengan kemampuan yang dimiliki masing-masing diri sebagai upaya menjalani arti peran kehidupan yang bermanfaat.
Wallahu a`lam bish-showwab.

readmore